Selasa, 21 Januari 2020

KONSTRUKSI RATIO DECIDENDI TERHADAP PEMBELI BERITIKAD BAIK BEROBJEK TANAH DALAM PUTUSAN HAKIM


Albert Usada, 2020: Konstruksi Ratio Decidendi Putusan Hakim Tentang Perlindungan Hukum terhadap Pembeli Beritikad Baik Berobjek Tanah





Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan Negara tertinggi, yang sejak tahun 2011 menerapkan Sistem Kamar[1] melalui Keputusan Ketua MA Nomor 142/KMA/SK/IX/2011, yaitu memberlakukan sebuah kebijakan pemberlakuan sistem kamar pada MA. Dalam Sistem Kamar MA tersebut, mengelompokkan hakim agung ke dalam lima kamar, yaitu kamar perdata, kamar pidana, kamar agama, kamar tata usaha negara dan kamar militer. Hakim agung masing-masing kamar pada dasarnya hanya mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam lingkup kewenangan masing-masing kamar. Hakim agung kamar perdata hanya mengadili perkara perdata saja dan hakim agung kamar pidana hanya mengadili perkara pidana saja. Demikian pula, hakim agung kamar tata usaha negara hanya mengadili perkara tata usaha negara.

Sementara itu, Ketua MA M. Hatta Ali[2] menegaskan bahwa rapat pleno kamar tersebut bertujuan untuk memperkuat sistem kamar dalam penanganan perkara di MA. Sistem kamar ini memiliki beberapa tujuan utama, sebagai berikut:

a.      menjaga kesatuan penerapan hukum;

b.      konsistensi putusan MA;

c.      meningkatkan profesionalitas hakim agung; dan

d.     mempercepat proses penyelesaian perkara.

Konstruksi ratio decidendi putusan hakim menurut yurisprudensi MA tentang “perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah” berarti bagaimana bangunan alasan dan pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, yaitu sebagai konstruksi ratio decidendi putusan hakim yang didasarkan pada penalaran hukum dan penemuan hukum dalam menentukan kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah sebagai standar hukum melalui yurisprudensi MA dan Sistem Kamar dalam MA tersebut menuju kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan.

Menurut Ridwan Khairandy[3] bahwa ketika hakim mengadili suatu perkara, maka pertama yang perlu dilakukan hakim adalah mengkonstatasi benar tidaknya peristiwa yang diajukan kepadanya. Setelah mengkontatasi peristiwanya, hakim harus mengkualifikasi peristiwanya. Kemudian, hakim harus dapat menentukan hukum apa yang akan diterapkan untuk menyelesaikan sengketa yang bersangkutan. Maka, di sini hakim harus menemukan hukum. Hakim di Indonesia dalam menemukan hukum dapat merujuk kepada beberapa sumber hukum seperti peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Di Indonesia, hakim tidak terikat kepada yurisprudensi atau putusan hakim yang terdahulu dalam kasus yang sebangun. Dalam hal ini, pengadilan di Indonesia tidak menganut asas the binding force of precedent atau stare decisis[4].

Ridwan Khairandy[5] menegaskan bahwa dampak negatif tidak dianutnya asas ini adalah dimungkinkannya putusan pengadilan menjadi tidak konsisten dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Di lain pihak, tidak dianutnya asas ini ternyata juga menimbulkan peluang bagi hakim atau pengadilan untuk membangun hukum yudisial baru yang dapat mengikuti perkembangan masyarakat dalam putusan-putusannya.[6]

Pemaknaan itikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata oleh Pengadilan Tinggi Surabaya ditafsirkan sebagai kejujuran sebagaimana dalam putusannya Nomor 262/1951 Pdt tanggal 31 Juli 1952 yang oleh Ridwan Khairandy diberikan catatan, bahwa kecermatan bagi pembeli untuk meneliti atau memeriksa (onderzoekplicht) fakta material yang berkaitan dengan perjanjian jual beli. Itikad baik bersifat objektif (objective goeder trouw) didasarkan pada kepantasan dan kepatutan (redelijkheid en billijkheid) sebagai keadilan. Itikad baik bersifat subjektif (subjective goeder trouw) didasarkan kepada kejujuran.[7]

Konstruksi ratio decidendi putusan hakim yang didasarkan pada konteks penalaran hukum dan konteks penemuan hukum dalam menentukan kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah sebagai standar hukum melalui yurisprudensi MA dan Sistem Kamar dalam MA tersebut adalah bertujuan untuk kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan.  

Konteks Penalaran Hukum

Konteks penalaran hukum (legal reasoning) berkenaan dengan suatu asas hukum dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Kaidah-kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung yang pada pokoknya menyatakan bahwa pembeli tidak beritikad baik, sehingga tidak mendapatkan perlindungan hukum, sebagai berikut:  

1)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 4340 K/PDT/1986 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik dianggap tidak ada, karena pembeli dianggap tidak melakukan perbuatan apapun untuk meneliti pemilik tanah sebenarnya serta obyek jual beli.[8]

2)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 1816 K/PDT/1989 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik dianggap ada jika pembeli meneliti hak dan status para penjual.[9]

3)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 1861 K/PDT/2005 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik dianggap tidak ada, karena perolehan hak (pembelian) terjadi pada saat penjual berperkara dengan pemilik (yang dimenangkan dalam hal ini adalah pemilik awal).[10]

Sedangkan kaidah hukum dalam beberapa Putusan Mahkamah Agung di bawah ini yang pada pokoknya menentukan bahwa  pembeli beritikad baik yang mendapatkan perlindungan hukum, antara lain:

1)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 120 K/SIP/1957, bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima, dengan alasan karena penggugat membiarkan perihal tersebut selama 25 tahun, harus dianggap menghilangkan hak mereka (rechtsverwerking).[11]

2)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 550 K/Pdt/2013, bahwa itikad baik dianggap ada, karena pembeli (ke-1) dapat menunjukkan bukti-bukti kepemilikan, sementara pembeli ke-2 tidak.[12]

3)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 1778 K/PDT/2013, bahwa itikad baik dianggap ada, karena adanya bukti kwitansi jual beli yang diakui kedua belah pihak. Majelis hakim menyatakan bahwa pembeli beritikad baik dilindungi karena telah terang adanya bukti kwitansi tanda terima uang yang diakui kedua belah pihak.[13]

Konteks Penemuan Hukum

Konteks penemuan hukum (rechtsvinding) berkenaan dengan suatu asas hukum dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa: Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Konteks Penemuan Hukum (rechtsvinding) tersebut dilakukan dengan cara berdasarkan metode penafsiran atau interpretasi, yaitu konkretisasi asas hukum dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa: Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Penafsiran atau inteprestasi merupakan salah satu metode penemuan hukum untuk memberikan penjelasan tentang suatu teks ketentuan perundang-undangan agar ruang lingkup suatu kaidah (hukum) dapat ditetapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkret. Metode penafsiran atau intepretasi merupakan sarana untuk mengetahui makna teks suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.  

Metode penafsiran atau intepretasi ini bukan merupakan metode yang diperintahkan kepada hakim untuk digunakan dalam penemuan hukum, akan tetapi merupakan penjabaran dari putusan-putusan hakim yang telah dijatuhkan lebih dahulu. Penafsiran atau intepretasi dikenal jenisnya, yaitu penafsiran menurut bahasa / gramatikal, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran sistematis atau logis, penafsiran historis, penafsiran perbandingan hukum, dan penafsiran futuristik.

Berdasarkan kaidah-kaidah hukum dalam banyak putusan Mahkamah Agung yang telah menjadi Yurisprudensi Tetap sebagaimana telah disinggung di atas, maka penjabaran lebih jauh adalah dengan diberlakukannya Sistem Kamar pada Mahkamah Agung sejak tahun 2011 dan berlaku secara bertahap dari tahun 2012 sampai dengan sekarang (2019). Maka, Mahkamah Agung telah memberikan pedoman bagi segenap hakim yang menangani perkara sejenis atau mirip dengan perkara terdahulu yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap sebagai bagian dari Hukum Yurisprudensi. Tujuannya adalah untuk memberikan kesatuan penerapan hukum (unformity) dan konsistensi putusan.  

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 pada bagian Perdata Umum sebagai Hasil Kesepakatan Rapat Pleno Kamar Perdata telah merumuskan kriteria pembeli beritikad baik untuk memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi pembeli beritikad baik berobjek tanah. Di samping itu, juga merupakan konstruksi hukum sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah dalam perspektif filsafat Pancasila maupun sebagai konkretisasi asas itikad baik (bona fides, te goeder trouw, good faith) sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, dan konkretisasi asas pacta sunt servanda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu, sebagai berikut:[14]

a.       Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:

-       Pembelian tanah melalui pelelangan umum; atau

-       Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (sesuai ketentuan  Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah); atau

-       Pembelian terhadap tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat, yaitu:

-   dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat);

-   didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual;

-       Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.

b.      Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan, antara lain:

-       Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya; atau

-       Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita; atau

-       Tanah/objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/Hak Tanggungan; atau

-       Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.

Dengan demikian, Sistem Peradilan Indonesia yang merupakan penganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) harus membangun kesatuan penerapan hukumnya (uniformity) agar dalam praktik peradilan di Indonesia menghasilkan putusan yang konsisten atau teratur dan ajeg, sehingga rasa keadilan, dan kepastian hukum serta kemanfaatan hukum dapat mewujud.


[1]  Takdir Rahmadi, Sistem Kamar Dalam Mahkamah Agung: Upaya Membangun Kesatuan Hukum,  dalam Link Artikel di https://mahkamahagung.go.id/id/artikel/2141/sistem-kamar-dalam-mahkamah-agung-upaya-membangun-kesatuan-hukum-profdrtakdir-rahmadi-sh-llm diakses pada hari Rabu 2 Oktober 2019 pukul 21.22 wib.

[2]  M. Hatta Ali, Sistem Kamar Mahkamah Agung dalam Link Berita Hukum Online di https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c0e437b01b5d/mengintip-hasil-rapat-pleno-kamar-tahun-2018/ diakses pada hari Kamis 3 Oktober 2019 pukul 00.12 wib.

[3]   Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, h. 261-262.

[4]   Ibid.

[5]   Ibid.

[6]   Bdk. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, h. 160-162.

[7]    Ridwan Khairandy, ibid.

[8]  Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 1969-2004, Jakarta 2005. 

[9]   Ibid.

[10]   Ibid.

[11]   Ibid.

[12]   Ibid.

[13]   Ibid.


[14]  Vide: Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kebijakan Mahkamah Agung Tahun 2017, Jakarta, 2017, h.48-49.
Previous Post
Next Post

0 comments: