Minggu, 19 Januari 2020

RATIO DECIDENDI PUTUSAN HAKIM TERHADAP PEMBELI BERITIKAD BAIK BEROBJEK TANAH DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PANCASILA

Albert Usada, 2020: Setelah dipublikasikan dalam edisi bahasa Inggris banyak permintaan pengunjung dan pembaca laman situsweb ini melalui sarana komunikasi email maupun media sosial perpesanan Whatsapp, yang meminta untuk dapat dipublikasikan edisi bahasa Indonesia. Tulisan ini merupakan bagian Tugas Terstruktur Mata Kuliah HK811 Filsafat Ilmu yang diampu oleh Prof. Dr. Achmad Sudjito Atmoredjo, S.H., M.S. pada Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta.
Maka, dapat dibaca dan disimak edisi bahasa Indonesia beriku di bawah ini.


RATIO DECIDENDI  PUTUSAN HAKIM

TERHADAP PEMBELI BERITIKAD BAIK BEROBJEK TANAH

DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PANCASILA

Albertus Usada

Mahasiswa Program Studi S3 Program Doktor Ilmu Hukum FH UNS


Abstract

Ratio decidendi is the reason for the decision of judge, as a legal reason and consideration that forms the basis of a judge's decision. The meaning of the perspective of the Pancasila Philosophy regarding the implementation of judicial power as the power of an independent state to administer justice in a general court environment in order to enforce law and justice based on Pancasila and the 1945’s State Constitution of the Republic of Indonesia. In judicial practice, the determination of the buyer in good faith with a land object is very dependent on the judge examining and trying the case in question. The construction of the judge's decision to buyers in good faith with a land objects includes two contextual components, a legal reasoning and a law making. Context of  legal reasoning is done by analogy, to concretize the principle of law in the provisions of a statutory regulation. Context of Law Making is based on the methods of interpretation.

Keywords: ratio decidendi, verdict, buyer in good faith

Abstrak

Ratio decidendi merupakan alasan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan hakim. Makna perspektif Filsafat Pancasila tentang penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan di lingkungan peradilan umum guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam praktik peradilan, penentuan pembeli beritikad baik berobjek tanah sangat tergantung kepada hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan. Konstruksi ratio deciendi putusan hakim terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah mencakup dua komponen kontekstual. Pertama, konteks penalaran hukum dan kedua, konteks penemuan hukum. Konteks Penalaran Hukum dilakukan dengan cara analogi, untuk konkretisasi asas hukum dalam ketentuan suatu peraturan perundang-undangan. Konteks Penemuan Hukum dilakukan berdasarkan metode penafsiran atau interpretasi.

Kata kunci: ratio decidendi, putusan hakim, pembeli beritikad baik



A.  Pendahuluan

Kajian Pancasila merupakan paradigma ilmu hukum sebagaimana menurut Sudjito Atmoredjo[1] menjadi sangat penting dan perlu dimantapkan berdasarkan argumentasi, antara lain:

a.       Paradigma merupakan “seperangkat nilai tentang Tuhan, alam dan manusia”;

b.      Paradigma merupakan sumber, fondasi, asal dan awal dari keberadaan dan perkembangan ilmu;

c.       Paradigma ilmu Indonesia adalah Pancasila. Artinya, beroleh ilmu hukum dan mengamalkan ilmu hukum harus berporos, berproses dan bermuara pada nilai-nilai Pancasila.[2]

Seiring dengan kajian Pancasila sebagai paradigma ilmu hukum berdasarkan argumentasi tersebut, maka Indonesia sebagai Negara Hukum (rechtstaat) sesuai doktrin “negara hukum” atau rechtstaat tidak diterjemahkan begitu saja menjadi “a state based on the rule of law” yang menurut Budiono Kusumohamidjojo tampaknya paling tepat dialihbahasakan menjadi “a state base on law”.[3]  

Ide negara hukum sesungguhnya telah lama dikembangkan oleh para filsuf dari zaman Yunani Kuno. Menurut filsuf Plato sebagaimana dikutip Philipus M. Hadjon, bahwa negara hukum merupakan bentuk paling baik kedua (the second best) guna mencegah kemerosotan kekuasaan. Kemudian di zaman modern, konsep negara hukum dikembangkan di Eropa Kontinental dengan menggunakan istilah bahasa Jerman yaitu rechtstaat.[4] Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konsep negara hukum dikembangkan sebagai “the Rule of Law” yang dipelopori oleh AV. Dicey sebagaimana dikutip Jimly Assiddiqie[5] yang menambahkan konsep negara hukum dikaitkan dengan istilah nomokrasi (nomocratie), bahwa penentu dalam penyelenggaraan kekuasaan negara adalah hukum.

Dalam konteks Indonesia sebagai Negara Hukum (rechtstaat), penyelenggaraan kekuasaan negara di bidang yudikatif disebut Kekuasaan Kehakiman, yaitu kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.[6] Kekuasaan Kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[7]

Berdasarkan konsiderans menimbang dan ketentuan Pasal 1 butir angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, disimpulkan bahwa penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia sebagai Negara Hukum dilaksanakan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia (selanjutnya disingkat Mahkamah Agung) dan empat lingkungan badan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer di bawah Mahkamah Agung. Maka, kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.  

Dalam makalah ini, dibatasi pada lingkungan Peradilan Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang pada Pasal 1 menentukan bahwa yang dimaksud “Pengadilan” adalah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi di lingkungan peradilan umum (butir angka 1); dan yang dimaksud “Hakim” adalah hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi (butir angka 2).

Ditegaskan, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, menentukan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan sehingga perlu diwujudkan adanya lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.

Dalam konteks peradilan sebagai proses hukum, Satjipto Raharjo[8] membedakan makna “peradilan” dan “pengadilan” yaitu “peradilan” menunjuk pada proses mengadili, sedangkan “pengadilan” merupakan salah satu lembaga dalam proses mengadili tersebut. Hasil akhir dari proses mengadili tersebut adalah putusan pengadilan, atau sering juga digunakan kata “putusan hakim” karena hakim yang memimpin sidang di pengadilan itu.

Yang dimaksud “hakim” dalam makalah ini adalah hakim pada pengadilan negeri dan hakim pada pengadilan tinggi serta hakim agung pada Mahkamah Agung. Demikian pula makna “putusan hakim” adalah dapat berupa putusan pengadilan negeri dan putusan pengadilan tinggi yang berpuncak pada putusan Mahkamah Agung yang mengandung kaidah hukum tentang perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah.

Frasa “ratio decidendi” putusan hakim bermakna “alasan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan[9] oleh hakim yang sangat dikenal di negara-negara dengan tradisi sistem hukum common law yang oleh Sidharta[10] dinyatakan bahwa secara harfiah istilah “ratio decidendi” berarti “alasan untuk menjatuhkan putusan” (the reason for the decision), dan lebih lanjut Sidharta mengutip pendapat Michael Zander[11] bahwa ratio decidendi adalah “A proposition of law which decides the case, in the light or in the context of the material facts” (Terjemahan: Suatu proposisi atau premis hukum yang memutuskan suatu kasus dilihat dari sudut atau dari konteks fakta-fakta material).

Makna sub-judul “dalam perspektif Filsafat Pancasila” berkenaan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan di lingkungan peradilan umum guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sudjito Atmoredjo[12] menyebutkan tentang posisi Pancasila sebagai Dasar Negara dan sebagai sumber dari segala sumber hukum Indonesia. Sedangkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah merumuskan pesan bermakna dalam bentuk rumusan Tujuan Negara dan Dasar Negara[13] yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Pancasila.  

Berdasarkan uraian latar belakang di bawah judul “Ratio Decidendi Putusan Hakim Terhadap Pembeli Beritikad Baik Berobjek Tanah Dalam Perspektif Filsafat Pancasila” tersebut, perlu dikaji dua masalah relevan, sebagai berikut:

1.      Apakah makna perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah dalam konteks hukum jual beli menurut ketentuan peraturan perundangan dan praktik peradilan di Indonesia menurut yurisprudensi Mahkamah Agung?

2.      Bagaimana konstruksi ratio decidendi putusan hakim menurut yurisprudensi Mahkamah Agung tentang perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah ?  

B.  Kekuasaan Kehakiman dan Filsafat Pancasila

Dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, Hakim dalam perkara perdata adalah hakim yang menerima, memeriksa dan mengadili perkara sengketa perdata umum di lingkungan peradilan umum, yaitu tingkat pertama di pengadilan negeri, tingkat banding di pengadilan tinggi, dan hakim agung tingkat kasasi di Mahkamah Agung.[14]

Tujuan hukum sebagaimana dimaksud oleh Gustav Radbruch dalam Teguh Presetyo[15] mencakup keadilan (keadilan), kepastian hukum (legal certainty) dan kemanfaatan (expediency) sebagai satu kesatuan keseimbangan, bersifat tunggal atau tritunggal dan imperatif; tetapi tidak boleh dipahami sebagai memiliki makna yang terpisah, tidak boleh dipertentangkan atau didikotomikan serta tidak dapat dilihat sebagai suatu antinomie. Sebab, ketiganya merupakan refleksi dari tabiat hukum sendiri yaitu keseimbangan sebagai tiga watak hukum yang dikonseptualisasikan sebagai tujuan hukum.

Untuk Indonesia, menurut Notonagoro dalam Kaelan[16] bahwa tujuan hukum dimaksud harus dikaitkan dengan kesatuan sila-sila Pancasila yang bukan hanya kesatuan yang bersifat formal logis dalam arti bersifat hirarkis dalam bentuk piramidal urut-urutan luas (kuantitas) yang menunjukkan suatu hakikat makna yang bertingkat, namun juga melihat kesatuan dasar ontologis, dasar epistemologis dan aksiologis sila-sila Pancasila. Maka, Pancasila adalah sebagai suatu kesatuan sistem filsafat memiliki dasar ontologis, dasar epistemologis dan dasar aksiologis yang berbeda dengan sistem filsafat lainnya, seperti materialisme, liberalisme, pragmatisme, komunisme, idealisme, dan lain paham filsafat di dunia.

Kemudian, tentang keadilan substantif dalam bingkai nilai-nilai Pancasila merupakan tujuan akhir dan tertinggi dari proses penegakan hukum di Indonesia[17] Agar tujuan itu dapat dicapai, menurut Sudjito Atmoredjo[18] diperlukan lima persyaratan, yaitu:

(1)   penegakan hukum harus berbasis ilmu hukum berparadigma Pancasila; (2) keterpaduan tekad bersama para aparat penegak hukum;

(3)   penegakan hukum tidak boleh dipisahkan dari aspek moral;

(4)   keberanian untuk melakukan pembebasan dari tradisi berpikir dan bertindak yang bersifat legal-positivistik; dan

(5)   melibatkan semua komponen bangsa.

Lebih lanjut, Sudjito Atmoredjo[19], menyebutkan ada benang merah yang tidak boleh putus antara: hukum progresif, keadilan subtanstif dan nilai-nilai Pancasila yang harus dipahami secara utuh dan menyeluruh dengan metode pendekatan holistik, dan bukan parsialistik.

C.   Hakim dan Ratio Decidendi Putusan Hakim Perdata

Dalam konteks ini, Hakim adalah pelaku utama dalam hal suatu proses penegakan hukum dan dalam menjatuhkan putusan. Sebagaimana dijelaskan di bagian awal, bahwa dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman maupun Hakim dalam perkara perdata adalah hakim yang menerima, memeriksa dan mengadili perkara sengketa perdata umum di lingkungan peradilan umum, yaitu tingkat pertama di pengadilan negeri, tingkat banding di pengadilan tinggi, dan hakim agung tingkat kasasi di Mahkamah Agung.[20]

Dalam menjalankan fungsinya, Hakim menjatuhkan suatu putusan harus didasarkan pada alasan dan pertimbangan tentang mengapa ia menjatuhkan putusan sedemikian rupa - dikenal sebagai ratio decidendi.  Makna ratio recidendi adalah alasan-alasan yang langsung dalam suatu putusan hakim atau alasan untuk memutuskan, dan pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan hakim atau pengadilan.

Menurut Satjipto Raharjo[21] perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara menempatkan suatu kekuasaan yang dilakukan secara terukur (tertentu dan dalamnya) untuk bertindak dalam rangka kepentingan tersebut.

Menurut Sudikno Mertokusumo[22], putusan hakim sebagai penetapan kaidah hukum untuk waktu yang akan datang dan merupakan pedoman bagi hakim lain untuk memutus perkara yang serupa dengan yang diputus oleh putusan di kemudian hari (stare decisis). Dalam menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio decidendi, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai pada putusannya. Apabila putusan dilihat sebagai penetapan kaidah hukum, maka yang mengikat adalah pertimbangan atau alasan yang secara langsung mengenai pokok perkara, yaitu kaidah hukum merupakan dasar hukum putusan “ratio decidendi.”[23]

Tentang penemuan hukum, Lili Rasjidi[24] menyebutkan sebagai kegiatan pengambilan putusan yuridis konkret yang secara langsung menimbulkan akibat hukum bagi suatu situasi individual (putusan hakim, ketetapan, pembentukan akta notaris dan sebagainya. Pada dasarnya, penemuan hukum adalah pencerminan pembentukan hukum. Dalam pembentukan hukum yang terjadi adalah menetapkan hal-hal yang khusus, maka penemuan hukum adalah kebalikannya. Dalam  penemuan hukum, hal-hal yang khususlah yang dimunculkan dan pada saat yang sama dikonstatasikan dampak keberlakuan secara umum. Lili Rasjidi[25] menguraikan kegiatan penemuan hukum, pembentukan hukum dan bantuan hukum dalam bingkai pengembanan hukum (rechtsbeoefening) secara praktis, yaitu keberlakuan hukum dalam masyarakat yang meliputi kegiatan dalam membentuk, melaksanakan, menerapkan, menemukan, menafsirkan,  mempelajari dan mengajarkan hukum.

D.   Asas Itikad Baik Dalam Perjanjian

            Asas itikad baik dalam berbagai literatur hukum perdata menurut peneliti Widodo Dwi Putro et al[26], kurang mendapat perhatian dibanding asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda. Menurut Widodo Dwi Putro et al, kedudukan asas itikad baik sangat penting. Sebelum para pihak melangkah menuju perjanjian, menyepakati perjanjian, dan akhirnya harus melaksanakan perjanjian, semua harus didasari dengan itikad baik. Dalam praktik peradilan, selama ini telah diyakini bahwa pembeli yang beritikad baik wajib dilindungi. Namun, peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak memberikan suatu petunjuk yang jelas tentang siapa yang dapat dianggap sebagai “pembeli yang beritikad baik” tersebut. Pasal 531 KUH Perdata menyebutkan bahwa kedudukan berkuasa  (bezit) itu beritikad baik, apabila si pemegang kedudukan berkuasa (bezitter) “memperoleh hak kebendaan dengan cara memperoleh hak milik di mana ia tidak mengetahui adanya cacat atau kekurangan di dalamnya”.  Dalam pengaturan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata hanya menentukan bahwa perjanjian harus dilaksanakan berdasarkan itikad baik, namun juga tidak menentukan lebih lanjut tentang siapa pembeli beritikad baik itu. Hal ini mungkin bisa dipahami, karena asas itikad baik berada di wilayah “nilai” yang tidak mudah untuk diturunkan dalam bentuk norma yang konkret.[27]

Beberapa contoh Putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa  pembeli tidak beritikad baik, sehingga tidak mendapatkan perlindungan hukum, sebagai berikut:  

1)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 4340 K/PDT/1986 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik dianggap tidak ada, karena pembeli dianggap tidak melakukan perbuatan apapun untuk meneliti pemilik tanah sebenarnya serta obyek jual beli.[28]

2)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 1816 K/PDT/1989 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik dianggap ada jika pembeli meneliti hak dan status para penjual.[29]

3)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 1861 K/PDT/2005 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik dianggap tidak ada, karena perolehan hak (pembelian) terjadi pada saat penjual berperkara dengan pemilik (yang dimenangkan dalam hal ini adalah pemilik awal).[30]

Selanjutnya, diberikan beberapa contoh Putusan Mahkamah Agung yang kaidah hukumnya menentukan pembeli beritikad baik yang mendapatkan perlindungan hukum, antara lain:

1)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 120 K/SIP/1957, bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima, dengan alasan karena penggugat membiarkan perihal tersebut selama 25 tahun, harus dianggap menghilangkan hak mereka (rechtsverwerking).[31]

2)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 550 K/Pdt/2013, bahwa itikad baik dianggap ada, karena pembeli (ke-1) dapat menunjukkan bukti-bukti kepemilikan, sementara pembeli ke-2 tidak.[32]

3)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 1778 K/PDT/2013, bahwa itikad baik dianggap ada, karena adanya bukti kwitansi jual beli yang diakui kedua belah pihak. Majelis hakim menyatakan bahwa pembeli beritikad baik dilindungi karena telah terang adanya bukti kwitansi tanda terima uang yang diakui kedua belah pihak.[33]

Berdasarkan kaidah-kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa asas itikad baik dalam perjanjian jual beli tanah dalam konteks subjek perjanjian yaitu pembeli beritikad baik berobjek tanah harus dilindungi oleh hukum. Penentuan kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah tersebut sangat tergantung kepada hakim yang memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan.

E.   Pemaknaan Pembeli Beritikad Baik Berobjek Tanah Dalam Praktik Peradilan dan Yurisprudensi Indonesia

Menurut R. Subekti[34], bahwa pembeli yang beritikad baik adalah pembeli yang sama sekali tidak mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang yang sebenarnya bukan pemilik, sehingga ia dipandang sebagai pemilik dan barang siapa yang memperoleh suatu barang darinya dilindungi oleh hukum. Sedangkan, Ridwan Khairandi[35] merumuskan pembeli beritikad baik adalah seseorang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual benar-benar pemilik dari barang yang dijualnya itu. Pengertian lain, menurut Agus Yudha Hernoko[36] bahwa pembeli beritikad baik adalah orang yang jujur dan tidak mengetahui cacat yang melekat pada barang yang dibelinya itu.

Pengertian itikad baik di lingkup hak kebendaan (hak milik) terhadap benda atau barang bergerak, maka berdasarkan ketentuan Pasal 531 KUH Perdata mengatur kedudukan seseorang itu beritikad baik apabila pihak yang memperoleh hak milik terebut tidak mengetahui adanya cacat tersembunyi. Dalam suatu perjanjian, melindungi pihak yang beritikad baik dibutuhkan hukum yang dapat memberikan perlindungan kepastian hukum, salah satu caranya dapat mengajukan upaya hukum gugatan keperdataan ke pengadilan.

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam kajian literatur,[37] jual beli tanah dalam hukum adat dilakukan dengan syarat riil, terang dan tunai. Makna “riil” adalah kehendak yang diucapkan harus diikuti dengan perbuatan nyata, misalnya telah diterimanya uang oleh penjual dan dibuatnya perjanjian di hadapan Kepala Desa. Makna “tunai” adalah penyerahan hak oleh penjual dilakukan bersamaan dengan pembayaran oleh pembeli dan seketika itu juga hak kepemilikan sudah beralih. Sedangkan, pengertian “terang” jual beli tanah tersebut dilakukan di hadapan Kepala Adat atau Kepala Desa yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak atas tanah (ditambah disaksikan dengan saksi-saksi), sehingga perbuatan jual beli tanah tersebut diketahui oleh umum.

Selanjutnya, makna “pembeli beritikad baik” sebagaimana diidentifikasi dalam penelitian Widodo Dwi Putro et al[38] sebagai berikut:

1.      Pembeli yang beritikad baik adalah pembeli yang tidak mengetahui dan tidak dapat dianggap sepatutnya telah mengetahui adanya cacat cela dalam proses peralihan hak atas tanah yang dibelinya.

2.      Pembeli dapat dianggap beritikad baik, jika ia telah memeriksa secara seksama fakta material (data fisik) dan keabsahan peralihan hak (data yuridis) atas tanah yang dibelinya, sebelum dan pada saat proses peralihan hak atas tanah. Jika pembeli mengetahui atau dapat dianggap sepatutnya telah mengetahui cacat cela dalam proses peralihan hak atas tanah (misalnya ketidakwenangan penjual), namun ia tetap meneruskan jual beli, pembeli tidak dapat dianggap beritikad baik.

3.      Dalam perkara lelang, putusan-putusan hakim pada dasarnya melindungi pembeli lelang, kecuali ketika pembeli menyalahgunakan keadaan atau hak atas tanah terkait ternyata telah dihapuskan.

4.      Meskipun terdapat ketentuan yang membatasi bahwa keberatan atau gugatan atas hak atas tanah terdaftar hanya dapat diajukan dalam jangka waktu lima tahun, namun jangka waktu ini pada praktiknya tidak mengikat. Karena, ketentuan daluwarsa ini tidak berdiri sendiri, melainkan mempersyaratkan adanya itikad baik pemegang sertifikat yang harus ditetapkan oleh hakim (lihat poin 2 di atas), di samping sertifikat harus diterbitkan secara sah dan tanah dikuasai secara nyata oleh pemegang sertifikat.

Mahkamah Agung RI melalui Surat Edaran (SEMA), yaitu SEMA Nomor 4 Tahun 2016, pada bagian Perdata Umum telah merumuskan kriteria pembeli yang beritikad baik dengan maksud untuk memberikan kepastian hukum bagi pembeli berobjek tanah. Dalam kesepakatan Rapat Pleno Kamar Perdata selanjutnya, sebagaimana dilampirkan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2016 tersebut yang menyempurnakan Kesepakatan Kamar Perdata dalam SEMA Nomor 5 Tahun 2014 tentang Kriteria pembeli yang beritikad baik yang perlu dilindungi berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, adalah sebagai berikut:[39]

a.     Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:

-       Pembelian tanah melalui pelelangan umum; atau

-       Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah - PPAT (sesuai ketentuan  Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah); atau

-       Pembelian terhadap tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat, yaitu:

-   dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat);

-   didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual;

-       Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.

b.     Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan, antara lain:

-       Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya; atau

-       Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita; atau

-       Tanah/objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/Hak Tanggungan; atau

-       Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.

Dalam praktik, putusan-putusan Mahkamah Agung sejak tahun 1950-an yaitu sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) - telah memberikan penafsiran atas pengertian “pembeli beritikad baik” dalam penelitian Widodo Dwi Putro et al[40]. Mahkamah Agung menentukan bahwa pembeli beritikad baik diartikan sebagai pembeli yang sekali-kali tidak menduga bahwa orang yang menjual suatu benda (bukan satu-satunya) orang yang berhak atas benda yang dijualnya.[41] Demikian pula, kaidah hukum Mahkamah Agung menentukan bahwa pembeli yang tidak mengetahui adanya cacat hukum (dalam jual beli yang dilakukannya) adalah pembeli yang beritikad baik.[42]

Sesudah berlakunya UUPA, Mahkamah Agung masih memaknai “pembeli beritikad baik” sebagai pembeli yang tidak mengetahui adanya kekeliruan dalam proses jual beli (peralihan hak), seperti telah dicabutnya surat kuasa penjual oleh pemilik asal tanahnya.[43] Sebagaimana hasil penelitian Widodo Dwi Putro et al[44] bahwa itikad baik juga mulai memperoleh makna lain, yaitu pembeli telah dianggap beritikad baik, apabila jual beli telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.[45] Demikian pula, pembeli juga dianggap sebagai pembeli yang beritikad baik, jika tanah diperoleh dari kantor lelang negara, berikut surat-surat kepemilikannya.[46]

Situsweb Direktori Putusan Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 114 K/Pdt/2013[47] menyebutkan kaidah hukum bahwa pembeli sebagai pemohon kasasi mendalilkan bahwa dirinya adalah pembeli beritikad baik, karena jual beli dilakukan dihadapan Notaris/PPAT, namun menurut Mahkamah Agung bahwa karena tanah obyek sengketa adalah harta gono-gini dan sebelumnya telah ada putusan pengadilan yang membatalkan akta jual beli berdasarkan hal tersebut, maka permohonan harus ditolak.

Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1847 K/Pdt/2006[48] menyebutkan bahwa karena jual beli tidak dilakukan di hadapan PPAT, Mahkamah Agung menilai pembeli dalam hal ini bukan pembeli beritikad baik, karena sudah mengetahui bahwa objek jual beli sedang dan telah dalam penguasaan pihak lain sejak tahun 1963.

Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1923 K/Pdt/2013[49] menyebutkan, Mahkamah Agung dalam perkara ini menilai bahwa pembeli bukan pembeli beritikad baik, meskipun telah memegang sertifikat hak atas tanah atas namanya sejak tahun 1999 dan 2000, karena pada waktu pembelian dia dianggap tidak mencermati objek tanah yang ternyata dikuasai oleh orang lain.

Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1861 K/Pdt/2005[50],  Mahkamah Agung menganggap bahwa pembeli tanah bukan pembeli yang beritikad baik, meskipun jual beli telah dilakukan di hadapan PPAT dan telah terbit sertifikat, karena ketika pembelian dilakukan masih terdapat sengketa di pengadilan antara penjual dan pihak ketiga. Dalam sengketa itu, penjual ternyata akhirnya dihukum untuk menyerahkan tanah (yang telah dibeli oleh pembeli tadi) kepada lawannya.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 429 K/Pdt/2003[51], mengandung kaidah hukum bahwa menurut Mahkamah Agung, jika BPN sebelumnya telah secara tegas menyatakan bahwa objek sengketa (tanah girik) terkait berasal dari tanah partikelir yang kemudian dinyatakan menjadi tanah negara, maka pengalihan hak yang dilakukan dihadapan notaris batal. Pembeli tidak dilindungi.

Berdasarkan kaidah hukum dalam setiap putusan Mahkamah Agung sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa makna perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah dalam konteks hukum jual beli tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, dan hanya dikenal di dalam kepustakaan hukum melalui pendapat ahli hukum atau doktrin. Dalam praktik peradilan, perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah tumbuh dan berkembang melalui yurisprudensi, sehingga bentuk perlindungan hukumnya diserahkan sepenuhnya kepada hakim untuk menentukan kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah.  

F.    Konstruksi Ratio Decidendi Putusan Hakim menurut Yurisprudensi Mahkamah Agung tentang Perlindungan Hukum terhadap Pembeli Beritikad Baik Berobjek Tanah

Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan Negara tertinggi, yang sejak tahun 2011 menerapkan Sistem Kamar[52] melalui Keputusan Ketua MA Nomor 142/KMA/SK/IX/2011, yaitu memberlakukan sebuah kebijakan pemberlakuan sistem kamar pada MA. Dalam Sistem Kamar MA tersebut, mengelompokkan hakim agung ke dalam lima kamar, yaitu kamar perdata, kamar pidana, kamar agama, kamar tata usaha negara dan kamar militer. Hakim agung masing-masing kamar pada dasarnya hanya mengadili perkara-perkara yang termasuk dalam lingkup kewenangan masing-masing kamar. Hakim agung kamar perdata hanya mengadili perkara perdata saja dan hakim agung kamar pidana hanya mengadili perkara pidana saja. Demikian pula, hakim agung kamar tata usaha negara hanya mengadili perkara tata usaha negara.

Sementara itu, Ketua MA M. Hatta Ali[53] menegaskan bahwa rapat pleno kamar tersebut bertujuan untuk memperkuat sistem kamar dalam penanganan perkara di MA. Sistem kamar ini memiliki beberapa tujuan utama, sebagai berikut:

a.      menjaga kesatuan penerapan hukum;

b.      konsistensi putusan MA;

c.      meningkatkan profesionalitas hakim agung; dan

d.     mempercepat proses penyelesaian perkara.

Konstruksi ratio decidendi putusan hakim menurut yurisprudensi MA tentang “perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah” berarti bagaimana bangunan alasan dan pertimbangan hakim dalam memutuskan suatu perkara yang ditanganinya, yaitu sebagai konstruksi ratio decidendi putusan hakim yang didasarkan pada penalaran hukum dan penemuan hukum dalam menentukan kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah sebagai standar hukum melalui yurisprudensi MA dan Sistem Kamar dalam MA tersebut menuju kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan.

Menurut Ridwan Khairandy[54] bahwa ketika hakim mengadili suatu perkara, maka pertama yang perlu dilakukan hakim adalah mengkonstatasi benar tidaknya peristiwa yang diajukan kepadanya. Setelah mengkontatasi peristiwanya, hakim harus mengkualifikasi peristiwanya. Kemudian, hakim harus dapat menentukan hukum apa yang akan diterapkan untuk menyelesaikan sengketa yang bersangkutan. Maka, di sini hakim harus menemukan hukum. Hakim di Indonesia dalam menemukan hukum dapat merujuk kepada beberapa sumber hukum seperti peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Di Indonesia, hakim tidak terikat kepada yurisprudensi atau putusan hakim yang terdahulu dalam kasus yang sebangun. Dalam hal ini, pengadilan di Indonesia tidak menganut asas the binding force of precedent atau stare decisis[55].

Ridwan Khairandy[56] menegaskan bahwa dampak negatif tidak dianutnya asas ini adalah dimungkinkannya putusan pengadilan menjadi tidak konsisten dan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Di lain pihak, tidak dianutnya asas ini ternyata juga menimbulkan peluang bagi hakim atau pengadilan untuk membangun hukum yudisial baru yang dapat mengikuti perkembangan masyarakat dalam putusan-putusannya.[57]

Pemaknaan itikad baik dalam konteks Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata oleh Pengadilan Tinggi Surabaya ditafsirkan sebagai kejujuran sebagaimana dalam putusannya Nomor 262/1951 Pdt tanggal 31 Juli 1952 yang oleh Ridwan Khairandy diberikan catatan, bahwa kecermatan bagi pembeli untuk meneliti atau memeriksa (onderzoekplicht) fakta material yang berkaitan dengan perjanjian jual beli. Itikad baik bersifat objektif (objective goeder trouw) didasarkan pada kepantasan dan kepatutan (redelijkheid en billijkheid) sebagai keadilan. Itikad baik bersifat subjektif (subjective goeder trouw) didasarkan kepada kejujuran.[58]

Konstruksi ratio decidendi putusan hakim yang didasarkan pada konteks penalaran hukum dan konteks penemuan hukum dalam menentukan kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah sebagai standar hukum melalui yurisprudensi MA dan Sistem Kamar dalam MA tersebut adalah bertujuan untuk kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan.  

Konteks Penalaran Hukum

Konteks penalaran hukum (legal reasoning) berkenaan dengan suatu asas hukum dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.

Kaidah-kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung yang pada pokoknya menyatakan bahwa pembeli tidak beritikad baik, sehingga tidak mendapatkan perlindungan hukum, sebagai berikut:  

1)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 4340 K/PDT/1986 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik dianggap tidak ada, karena pembeli dianggap tidak melakukan perbuatan apapun untuk meneliti pemilik tanah sebenarnya serta obyek jual beli.[59]

2)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 1816 K/PDT/1989 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik dianggap ada jika pembeli meneliti hak dan status para penjual.[60]

3)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 1861 K/PDT/2005 dengan kaidah hukum bahwa itikad baik dianggap tidak ada, karena perolehan hak (pembelian) terjadi pada saat penjual berperkara dengan pemilik (yang dimenangkan dalam hal ini adalah pemilik awal).[61]

Sedangkan kaidah hukum dalam beberapa Putusan Mahkamah Agung di bawah ini yang pada pokoknya menentukan bahwa  pembeli beritikad baik yang mendapatkan perlindungan hukum, antara lain:

1)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 120 K/SIP/1957, bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima, dengan alasan karena penggugat membiarkan perihal tersebut selama 25 tahun, harus dianggap menghilangkan hak mereka (rechtsverwerking).[62]

2)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 550 K/Pdt/2013, bahwa itikad baik dianggap ada, karena pembeli (ke-1) dapat menunjukkan bukti-bukti kepemilikan, sementara pembeli ke-2 tidak.[63]

3)      Putusan Mahkamah Agung Nomor 1778 K/PDT/2013, bahwa itikad baik dianggap ada, karena adanya bukti kwitansi jual beli yang diakui kedua belah pihak. Majelis hakim menyatakan bahwa pembeli beritikad baik dilindungi karena telah terang adanya bukti kwitansi tanda terima uang yang diakui kedua belah pihak.[64]

Konteks Penemuan Hukum

Konteks penemuan hukum (rechtsvinding) berkenaan dengan suatu asas hukum dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa: Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Konteks Penemuan Hukum (rechtsvinding) tersebut dilakukan dengan cara berdasarkan metode penafsiran atau interpretasi, yaitu konkretisasi asas hukum dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa: Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Penafsiran atau inteprestasi merupakan salah satu metode penemuan hukum untuk memberikan penjelasan tentang suatu teks ketentuan perundang-undangan agar ruang lingkup suatu kaidah (hukum) dapat ditetapkan terhadap suatu peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa yang konkret. Metode penafsiran atau intepretasi merupakan sarana untuk mengetahui makna teks suatu ketentuan peraturan perundang-undangan.  

Metode penafsiran atau intepretasi ini bukan merupakan metode yang diperintahkan kepada hakim untuk digunakan dalam penemuan hukum, akan tetapi merupakan penjabaran dari putusan-putusan hakim yang telah dijatuhkan lebih dahulu. Penafsiran atau intepretasi dikenal jenisnya, yaitu penafsiran menurut bahasa / gramatikal, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran sistematis atau logis, penafsiran historis, penafsiran perbandingan hukum, dan penafsiran futuristik.

Berdasarkan kaidah-kaidah hukum dalam banyak putusan Mahkamah Agung yang telah menjadi Yurisprudensi Tetap sebagaimana telah disinggung di atas, maka penjabaran lebih jauh adalah dengan diberlakukannya Sistem Kamar pada Mahkamah Agung sejak tahun 2011 dan berlaku secara bertahap dari tahun 2012 sampai dengan sekarang (2019). Maka, Mahkamah Agung telah memberikan pedoman bagi segenap hakim yang menangani perkara sejenis atau mirip dengan perkara terdahulu yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap sebagai bagian dari Hukum Yurisprudensi. Tujuannya adalah untuk memberikan kesatuan penerapan hukum (unformity) dan konsistensi putusan.  

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 pada bagian Perdata Umum sebagai Hasil Kesepakatan Rapat Pleno Kamar Perdata telah merumuskan kriteria pembeli beritikad baik untuk memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi pembeli beritikad baik berobjek tanah. Di samping itu, juga merupakan konstruksi hukum sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah dalam perspektif filsafat Pancasila maupun sebagai konkretisasi asas itikad baik (bona fides, te goeder trouw, good faith) sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, dan konkretisasi asas pacta sunt servanda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang digantungkan pada syarat-syarat tertentu, sebagai berikut:[65]

a.       Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:

-       Pembelian tanah melalui pelelangan umum; atau

-       Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (sesuai ketentuan  Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah); atau

-       Pembelian terhadap tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat, yaitu:

-   dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat);

-   didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual;

-       Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.

b.      Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan, antara lain:

-       Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya; atau

-       Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita; atau

-       Tanah/objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/Hak Tanggungan; atau

-       Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.

Dengan demikian, Sistem Peradilan Indonesia yang merupakan penganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) harus membangun kesatuan penerapan hukumnya (uniformity) agar dalam praktik peradilan di Indonesia menghasilkan putusan yang konsisten atau teratur dan ajeg, sehingga rasa keadilan, dan kepastian hukum serta kemanfaatan hukum dapat mewujud.



G.   Penutup

Berdasarkan pembahasan sebagaimana tersebut di atas, maka dapat ditarik simpulan, sebagai berikut:

1.        Makna perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah dalam konteks hukum jual beli tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, dan hanya dikenal di dalam kepustakaan hukum melalui pendapat ahli hukum atau doktrin. Dalam praktik peradilan di Indonesia, perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah tumbuh dan berkembang melalui yurisprudensi, sehingga bentuk perlindungan hukumnya diserahkan sepenuhnya kepada hakim untuk menentukan kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah. 

2.        Konstruksi ratio deciendi putusan hakim menurut yurisprudensi Mahkamah Agung terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah mencakup dua komponen kontekstual, yaitu konteks penalaran hukum (legal reasoning) dan konteks penemuan hukum (rechtsvinding).

2.1. Konteks Penalaran Hukum (legal reasoning) dilakukan dengan cara analogi, untuk konkretisasi asas hukum dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Penalaran hukum dengan cara analogi tersebut mempunyai arti penting sebagai ratio decidendi putusan hakim untuk menjawab dan menjelaskan tentang (apakah) makna pembeli beritikad baik berobjek tanah yang dilindungi hukum dalam praktik peradilan di Indonesia melalui yurisprudensi Mahkamah Agung.

2.2. Konteks Penemuan Hukum (rechtsvinding) dilakukan dengan cara berdasarkan metode penafsiran atau interpretasi, untuk konkretisasi asas hukum dalam ketentuan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menentukan bahwa: Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penemuan hukum yang didasarkan pada metode penafsiran atau intepretasi tersebut mempunyai arti penting sebagai ratio decidendi putusan hakim untuk menjawab dan menjelaskan tentang (bagaimana) kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah yang dilindungi hukum dalam praktik pengadilan di Indonesia melalui yurisprudensi Mahkamah Agung.

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2016 pada bagian Perdata Umum sebagai Hasil Kesepakatan Rapat Pleno Kamar Perdata telah merumuskan kriteria pembeli beritikad baik untuk memberikan keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan bagi pembeli beritikad baik berobjek tanah. Di samping itu, merupakan konstruksi hukum sebagai bentuk perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah dalam perspektif filsafat Pancasila maupun sebagai konkretisasi asas itikad baik (bona fides, te goeder trouw, good faith) sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, dan konkretisasi asas pacta sunt servanda sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata.
DAFTAR PUSTAKA


A. Buku:

Ali, Hatta. 2012. Peradilan Sederhana Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restoratif. Cetakan ke-1. Alumni. Bandung.

Asnawi, M. Natsir. 2014. Hermeneutika Putusan Hakim. Cetakan ke-1. UII Press. Yogyakarta.

Asshiddiqie, Jimly. 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi. Konstitusi Press. Jakarta.

Atmoredjo, Sudjito. 2018. Hukum Dalam Pelangi Kehidupan. Dialektika. Yogyakarta.

Atmoredjo, Sudjito. 2019.  Hukum dan Kebangsaan Kemasyarakatan Keadilan Keadaban. Dialektika. Yogyakarta.

Efendi, Jonaedi. 2018. Rekonstruksi Dasar pertimbangan Hukum Hakim Berbasis Nilai-nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat. Edisi Pertama. Cetakan ke-1. Prenadamedia. Jakarta.

Fauzan, M. 2014. Kaidah Penemuan Hukum Yuridprudensi Bidang Hukum Perdata. Cetakan ke-1. Prenadamedia Group. Jakarta.

________ . 2018. Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi Norma-Norma Baru Dalam Hukum Kasus. Cetakan ke-2. Prenadamedia Group.

Hadjon, Philipus M. 1987. Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsip, Penanganannya Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara. Bina Ilmu. Surabaya.

Harsono, Boedi. 2005. Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Edisi Revisi. Djambatan. Jakarta.

Hernoko, Agus Yudha. 2008. Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersiil. Edisi 1 Cetakan ke-1, LaksBang Mediatama. Yogyakarta.

Kaelan. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi. Edisi Revisi. Paradigma. Yogyakarta.

Khairandy, Ridwan. 2004. Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak. Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Jakarta.

Mertokusumo, Sudikno. 2009.  Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Cetakan ke-6. Liberty. Yogyakarta.

Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo. 2013. Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum. Cetakan ke-2. Citra Aditya Bakti. Bandung.



Notonagoro. 1974. Pancasila sebagai Dasar Falsafah Negara. Cetakan ke-4. Pantjuran Tujuh. Jakarta.

Kusumohamidjojo, Budiono. 2019. Teori Hukum Dilema antara Hukum dan Kekuasaan. Cetakan ke-3 Edisi Kedua. Yrama Widya. Bandung.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2017. Himpunan Kebijakan Mahkamah Agung Tahun 2017. Mahkamah Agung RI. Jakarta.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2005. Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 1969-2004. Mahkamah Agung RI. Jakarta. 

Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2008. Memulihkan Peradilan Yang Berwibawa dan Dihormati: Pokok-Pokok Pikiran Bagir Manan Dalam Rakernas. Cetakan ke-1. Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Jakarta.

Manan, Bagir. 2014. “Judicial Precedent dan Stare Decisis (Sebagai Pengenalan)” dalam Varia Peradilan. Ikatan Hakim Indonesia. Majalah Hukum Tahun XXX No. 347 Oktober 2014.

Manullang, E. Fernando M. 2017. Legisme, Legalitas dan Kepastian Hukum. Cetakan ke-2. Kencana. Jakarta.

Mappiase, Syarief. 2017. Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim. Cetakan ke-2. Kencana. Bandung.

Marzuki, Peter Mahmud. 2017.  Penelitian Hukum. Edisi Revisi. Cetakan ke-13. Kencana. Jakarta.

Panggabean, H.P. 2014. Analisis Yurisprudensi Hukum Bisnis. Cetakan ke-1. Alumni. Bandung.

Prasetyo, Teguh. 2015. Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum. Cetakan ke-1. Nusa Media. Bandung.

Prasetyo, Teguh. 2015. Keadilan Bermartabat Perpektif Teori Hukum. Cetakan ke-1. Nusa Media. Bandung.

Prasetyo, Teguh dan Arie Purnomosidi. 2014. Membangun Hukum Berdasarkan Pancasila. Nusa Media. Bandung.

Rahardjo, Satjipto. 1976.  Hukum, Masyarakat dan Pembangunan. Cetakan ke-5. Alumni, Bandung.

Rahardjo, Satjipto. 2000. Ilmu Hukum. Cetakan ke-5. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi. 2004. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum. Cetakan ke-9. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Subekti, R. 2014. Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti. Bandung.

Sunarto. 2014. Peran Aktif Hakim Dalam Perkara Perdata. Edisi Pertama. Cetakan ke-1. Kencana. Jakarta.



Swantoro, Herri. 2017. Harmonisasi Keadilan dan Kepastian Dalam Peninjauan Kembali. Cetakan ke-1. Prenadamedia Group. Jakarta.

Zander, Michael. 2015. The Law Making Process. Sixth  Edition. Cambridge University Press. United Kingdom.

B. Jurnal/Penelitian/Artikel

Widodo Dwi Putro, et al. 2016. “Penjelasan Hukum Pembeli Beritikad Baik Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Beritikad Baik Dalam Sengketa Perdata Berobjek Tanah”, Kerjasama Judicial Sector Support Report - JSSP dan Kedutaan Besar Belanda di Indonesia dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).

Widodo Dwi Putro, et al. 2016. “Penelitian Socio Legal Pembeli Beritikad Baik Perlindungan Hukum Bagi Pembeli”, Kerjasama Judicial Sector Support Report - JSSP dan Kedutaan Besar Belanda di Indonesia dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP).

C. Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentag Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Unddang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

D. Putusan Mahkamah Agung RI

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 120 K/SIP/1957.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 251 K/Sip/1958.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 34/K/Sip/1960.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2370 K/Pdt/1992.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 570 K/Pdt/1999.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2863 K/Pdt/1999.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1168 K/PDT/2013

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 52 K/Pdt/2005.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1091 K/Pdt/2009.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 252 K/Pdt/2002.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 300 PK/Pdt/2009.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 252 K/Pdt/2002.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 596 K/Pdt/2012.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1091 K/Pdt/2010.

Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 112 K/Sip/1955



Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3447 K/Sip/1956.



Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 242 K/Sip/1958.



Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1230 K/Sip/1980.



Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1237 K/Sip/1973.



Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3604 K/Pdt/1985. 



E. Majalah / Internet



Varia Peradilan. “Judicial Precedent dan Stare Decisis (Sebagai Pengenalan).” Ikatan Hakim Indonesia. Majalah Hukum Tahun XXX No. 347 Oktober 2014.



Mahkamah Agung Republik Indonesia. 2008. Memulihkan Peradilan Yang Berwibawa dan Dihormati: Pokok-Pokok Pikiran Bagir Manan Dalam Rakernas. Cetakan ke-1. Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Jakarta.



Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di link https://putusan.mahkamahagung.go.id/ yang oleh Mahkamah Agung diluncurkan pertama kali pada tahun 2009 dalam forum Rapat kerja Nasional Mahkamah Agung dan diunggah di situs ini. Kemudian, Kepaniteraan Mahkamah Agung sejak tahun 2011 telah mengembangkan sistem ini lebih lanjut, sehingga putusan seluruh pengadilan Indonesia dapat diunggah di direktori









https://mahkamahagung.go.id/id/artikel/2141/sistem-kamar-dalam-mahkamah-agung-upaya-membangun-kesatuan-hukum-profdrtakdir-rahmadi-sh-llm Artikel Takdir Rahmadi: “Sistem Kamar Dalam Mahkamah Agung: Upaya Membangun Kesatuan Hukum” diakses pada hari Rabu 2 Oktober 2019 pukul 21.22 wib.



https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c0e437b01b5d/mengintip-hasil-rapat-pleno-kamar-tahun-2018/ Link Berita Hukum Online tentang “Sistem Kamar Mahkamah Agung” diakses pada hari Kamis 3 Oktober 2019 pukul 00.12 wib.



[1]     Sudjito Atmoredjo, Hukum Dalam Pelangi Kehidupan, Dialektika, Cetakan IV, Yogyakarta 2018, h. 33. 
[2]     Sudjito Atmoredjo mengacu pada hasil Simposium dan Sarasehan tentang Pancasila di Universitas Gajah Mada (UGM) pada pertengahan 2006 maupun Seminar Nasional tentag Nilai-nilai Pancasila di Universitas Pancasila Jakarta pada akhir tahun 2006.
[3]     Budiono Kusumohamidjojo, Teori Hukum Dilema antara Hukum dan Kekuasaan, Yrama Widya, Edisi Kedua, Cetakan III, Bandung 2019, h. 227-228.
[4]     Philipus M. Hadjon,  Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia Suatu Studi Tentang Prinsip-prinsip, Penanganannya Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi Negara, Bina Ilmu, Surabaya, h. 30.
[5]     Jimly Assiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, Konstitusi Press, Jakarta, h. 152.
[6]     vide: Pasal 1 butir angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[7]     vide: Konsiderans “Menimbang” pada huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Kemudian disebutkan pada huruf b yaitu “bahwa untuk mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dan peradilan yang bersih serta berwibawa perlu dilakukan penataan sistem peradilan yang terpadu.” 
[8]     Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, cetakan ke-5, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 182.
[9]     Bandingkan dengan Pasal 33 pada butir huruf e Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang, bahwa putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian undang-undang memuat sebagaimana disebutkan pada huruf a s/d h Pasal 33, pada “huruf e. pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan”.
[10]    Sidharta, Maret 2019, Ratio Decidendi dan Kaidah Yuridprudensi pada link https://business-law.binus.ac.id/2019/03/04/ratio-decidendi-dan-kaidah-yurisprudensi/ diakses internet pada hari Kamis, 3 Oktober 2019
[11]    Michael Zander, 2004, The Law Making Process, Cambridge University Press, United Kingdom dalam Sidharta, ibid.
[12]    Sudjito Atmoredjo, op.cit, h. 55. Dijelaskan, bahwa fokus kajian tentang posisi Pancasila sebagai Dasar Negara dan sumber dari segala sumber hukum Indonesia tersebut merupakan fokus kajian ketiga, disamping dua fokus kajian lainnya, yaitu pertama tentang Negara Hukum (dari rechtstaat menuju rule of law), dan fokus kedua tentang peranan Pancasila dalam pembentukan hukum termasuk tata urutan hukum, sebagaimana  topik pada Kongres Pancasila yang merupakan hasil kerjasama Mahkamah Konstitusi dan Universitas Gajah Mada (UGM) tanggal 30 Mei - 1 Juni 2009 di Balai Senat UGM, Yogyakarta.
[13]    Sudjito Atmoredjo, op.cit, h. 59, dan h. 87, menyebutkan tujuan Negara dan Dasar Negara: (1) melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; (2)  memajukan kesejahteraan umum; (3) mencerdaskan kehidupan bangsa; dan (4) ikut serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
      Berdasarkan empat tujuan Negara tersebut, Sudjito Atmoredjo menyatakan sebagai tujuan untuk mewujudkan peri kehidupan yang terpancar kemuliaan niat, wawasan dan cita-cita luhur para founding fathers.
[14]  Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
[15]    Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, cetakan ke-1, Nusa Media, Bandung, 2015, h.122-123.
[16]    Kaelan, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Edisi Revisi, Paradigma, Yogyakarta, 2016, h. 13; yang mengutip dari Notonagoro, Pancasila sebagai Dasar Falsafah Negara, Cetakan ke-4, Pantjuran Tujuh, Jakarta, 1974, h. 61.
[17]    Sudjito Atmoredjo, op.cit, h. 119.
[18]    Ibid. Bdk. Hatta Ali, Peradilan Sederhana Cepat dan Biaya Ringan Menuju Keadilan Restorartif, Cetakan ke-1, Alumni, Bandung, 2012.
[19]    Ibid.
[20]  vide: Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
[21] Satjipto Raharjo,  Ilmu Hukum, Cetakan ke-5, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, h. 53-69.  Bandingkan dalam Satjipto Raharjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, Alumni, Bandung, 1976.
[22]  Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan ke-6, Liberty, Yogyakarta, 2009, h. 54.
Bdk. Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2013, h. 45-46.
[23]  Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Cetakan ke-6, Liberty, Yogyakarta, 2009, h. 54.
[24]  Lili Rasjidi, 2004, Dasar-Dasar Filsafat dan teori Hukum, Cetakan ke-9, Citra Aditya Bakti, 2004, h. 160.
[25]   Ibid, 159-160.
[26]  Widodo Dwi Putro, et al,  “Penjelasan Hukum Pembeli Beritikad Baik Perlindungan Hukum Bagi Pembeli Beritikad Baik Dalam Sengketa Perdata Berobjek Tanah”, Kerjasama Judicial Sector Support Report - JSSP dan Kedutaan Besar Belanda di Indonesia dengan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), 2016, h. 26.
[27]   Ibid.
[28]  Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 1969-2004, Jakarta 2005. 
[29]   Ibid.
[30]   Ibid.
[31]   Ibid.
[32]   Ibid.
[33]   Ibid.
[34]   R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, h. 15.
[35]   Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, h. 194.
[36]  Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersiil, Edisi 1 Cetakan ke-1, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, 2008.
Bdk. Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Dasar pertimbangan Hukum Hakim Berbasis Nilai-nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat. Edisi Pertama. Cetakan ke-1. Prenadamedia. Jakarta, 2008.
 [37]  Widodo Dwi Putro et al, ibid.
[38]  Ibid, h. 14-15.
[39]  Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kebijakan Mahkamah Agung Tahun 2017, Jakarta, 2017, h.48-49.
[40]  Widodo Dwi Putro et al, ibid, h. 16-17.
Bdk. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Edisi Revisi. Djambatan. Jakarta, 2005.
[41]  Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 112 K/Sip/1955 dan Nomor 3447 K/Sip/1956.
Bdk. M. Fauzan, Kaidah Penemuan Hukum Yuridprudensi Bidang Hukum Perdata, Cetakan ke-1, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014.
[42]   Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 242 K/Sip/1958.
[43]   Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1230 K/Sip/1980.
[44]   Widodo Dwi Putro, ibid.
[45]   Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah agung RI Nomor 1237 K/Sip/1973.
[46]   Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3604 K/Pdt/1985. 
[47] Vide: Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di link https://putusan.mahkamahagung.go.id/  yang oleh Mahkamah Agung diluncurkan pertama kali pada tahun 2009 dalam forum Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung, dan diunggah di situs ini. Kemudian, Kepaniteraan Mahkamah Agung sejak tahun 2011 telah mengembangkan sistem ini lebih lanjut, sehingga putusan seluruh pengadilan Indonesia dapat diunggah dan diakses publik di direktori putusan Mahkaham Agung tersebut.
[48]   Ibid.
[49]   Ibid.
[50]  Ibid.
[51]  Ibid.
[52]  Takdir Rahmadi, Sistem Kamar Dalam Mahkamah Agung: Upaya Membangun Kesatuan Hukum,  dalam Link Artikel di https://mahkamahagung.go.id/id/artikel/2141/sistem-kamar-dalam-mahkamah-agung-upaya-membangun-kesatuan-hukum-profdrtakdir-rahmadi-sh-llm diakses pada hari Rabu 2 Oktober 2019 pukul 21.22 wib.
[53]  M. Hatta Ali, Sistem Kamar Mahkamah Agung dalam Link Berita Hukum Online di https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5c0e437b01b5d/mengintip-hasil-rapat-pleno-kamar-tahun-2018/ diakses pada hari Kamis 3 Oktober 2019 pukul 00.12 wib.
[54]   Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, h. 261-262.
[55]   Ibid.
[56]   Ibid.
[57]   Bdk. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1982, h. 160-162.
[58]    Ridwan Khairandy, ibid.
[59]  Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kaidah Hukum Putusan Perkara Dalam Buku Yurisprudensi Mahkamah Agung RI Tahun 1969-2004, Jakarta 2005. 
[60]   Ibid.
[61]   Ibid.
[62]   Ibid.
[63]   Ibid.
[64]   Ibid.
[65]  Vide: Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kebijakan Mahkamah Agung Tahun 2017, Jakarta, 2017, h.48-49.



Previous Post
Next Post

0 comments: