Selasa, 21 Januari 2020

MAKNA PEMBELI BERITIKAD BAIK DALAM PRAKTIK PERADILAN


Albert Usada, 2020: Bagaimana makna “Pembeli Beritikad Baik Berobjek Tanah” Dalam Praktik Peradilan dan Yurisprudensi Indonesia?

Menurut R. Subekti [1], bahwa pembeli yang beritikad baik adalah pembeli yang sama sekali tidak mengetahui bahwa ia berhadapan dengan orang yang sebenarnya bukan pemilik, sehingga ia dipandang sebagai pemilik dan barang siapa yang memperoleh suatu barang darinya dilindungi oleh hukum. Sedangkan, Ridwan Khairandi [2] merumuskan pembeli beritikad baik adalah seseorang yang membeli barang dengan penuh kepercayaan bahwa si penjual benar-benar pemilik dari barang yang dijualnya itu. Pengertian lain, menurut Agus Yudha Hernoko [3] bahwa pembeli beritikad baik adalah orang yang jujur dan tidak mengetahui cacat yang melekat pada barang yang dibelinya itu.


Pengertian itikad baik di lingkup hak kebendaan (hak milik) terhadap benda atau barang bergerak, maka berdasarkan ketentuan Pasal 531 KUH Perdata mengatur kedudukan seseorang itu beritikad baik apabila pihak yang memperoleh hak milik terebut tidak mengetahui adanya cacat tersembunyi. Dalam suatu perjanjian, melindungi pihak yang beritikad baik dibutuhkan hukum yang dapat memberikan perlindungan kepastian hukum, salah satu caranya dapat mengajukan upaya hukum gugatan keperdataan ke pengadilan.

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam kajian literatur,[4] jual beli tanah dalam hukum adat dilakukan dengan syarat riil, terang dan tunai. Makna “riil” adalah kehendak yang diucapkan harus diikuti dengan perbuatan nyata, misalnya telah diterimanya uang oleh penjual dan dibuatnya perjanjian di hadapan Kepala Desa. Makna “tunai” adalah penyerahan hak oleh penjual dilakukan bersamaan dengan pembayaran oleh pembeli dan seketika itu juga hak kepemilikan sudah beralih. Sedangkan, pengertian “terang” jual beli tanah tersebut dilakukan di hadapan Kepala Adat atau Kepala Desa yang berperan sebagai pejabat yang menanggung keteraturan dan sahnya perbuatan pemindahan hak atas tanah (ditambah disaksikan dengan saksi-saksi), sehingga perbuatan jual beli tanah tersebut diketahui oleh umum.

Selanjutnya, makna “pembeli beritikad baik” sebagaimana diidentifikasi dalam penelitian Widodo Dwi Putro et al [5] sebagai berikut:

1.      Pembeli yang beritikad baik adalah pembeli yang tidak mengetahui dan tidak dapat dianggap sepatutnya telah mengetahui adanya cacat cela dalam proses peralihan hak atas tanah yang dibelinya.

2.      Pembeli dapat dianggap beritikad baik, jika ia telah memeriksa secara seksama fakta material (data fisik) dan keabsahan peralihan hak (data yuridis) atas tanah yang dibelinya, sebelum dan pada saat proses peralihan hak atas tanah. Jika pembeli mengetahui atau dapat dianggap sepatutnya telah mengetahui cacat cela dalam proses peralihan hak atas tanah (misalnya ketidakwenangan penjual), namun ia tetap meneruskan jual beli, pembeli tidak dapat dianggap beritikad baik.

3.      Dalam perkara lelang, putusan-putusan hakim pada dasarnya melindungi pembeli lelang, kecuali ketika pembeli menyalahgunakan keadaan atau hak atas tanah terkait ternyata telah dihapuskan.

4.      Meskipun terdapat ketentuan yang membatasi bahwa keberatan atau gugatan atas hak atas tanah terdaftar hanya dapat diajukan dalam jangka waktu lima tahun, namun jangka waktu ini pada praktiknya tidak mengikat. Karena, ketentuan daluwarsa ini tidak berdiri sendiri, melainkan mempersyaratkan adanya itikad baik pemegang sertifikat yang harus ditetapkan oleh hakim (lihat poin 2 di atas), di samping sertifikat harus diterbitkan secara sah dan tanah dikuasai secara nyata oleh pemegang sertifikat.

Mahkamah Agung RI melalui Surat Edaran (SEMA), yaitu SEMA Nomor 4 Tahun 2016, pada bagian Perdata Umum telah merumuskan kriteria pembeli yang beritikad baik dengan maksud untuk memberikan kepastian hukum bagi pembeli berobjek tanah. Dalam kesepakatan Rapat Pleno Kamar Perdata selanjutnya, sebagaimana dilampirkan dalam SEMA Nomor 4 Tahun 2016 tersebut yang menyempurnakan Kesepakatan Kamar Perdata dalam SEMA Nomor 5 Tahun 2014 tentang Kriteria pembeli yang beritikad baik yang perlu dilindungi berdasarkan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, adalah sebagai berikut:[6]

a.     Melakukan jual beli atas objek tanah tersebut dengan tata cara/prosedur dan dokumen yang sah sebagaimana telah ditentukan peraturan perundang-undangan, yaitu:

-       Pembelian tanah melalui pelelangan umum; atau

-       Pembelian tanah dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah - PPAT (sesuai ketentuan  Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah); atau

-       Pembelian terhadap tanah milik adat/yang belum terdaftar yang dilaksanakan menurut ketentuan hukum adat, yaitu:

-   dilakukan secara tunai dan terang (di hadapan/diketahui Kepala Desa/Lurah setempat);

-   didahului dengan penelitian mengenai status tanah objek jual beli dan berdasarkan penelitian tersebut menunjukkan bahwa tanah objek jual beli adalah milik penjual;

-       Pembelian dilakukan dengan harga yang layak.

b.     Melakukan kehati-hatian dengan meneliti hal-hal berkaitan dengan objek tanah yang diperjanjikan, antara lain:

-       Penjual adalah orang yang berhak/memiliki hak atas tanah yang menjadi objek jual beli, sesuai dengan bukti kepemilikannya; atau

-       Tanah/objek yang diperjualbelikan tersebut tidak dalam status disita; atau

-       Tanah/objek yang diperjualbelikan tidak dalam status jaminan/Hak Tanggungan; atau

-       Terhadap tanah yang bersertifikat, telah memperoleh keterangan dari BPN dan riwayat hubungan hukum antara tanah tersebut dengan pemegang sertifikat.

Dalam praktik, putusan-putusan Mahkamah Agung sejak tahun 1950-an yaitu sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) - telah memberikan penafsiran atas pengertian “pembeli beritikad baik” dalam penelitian Widodo Dwi Putro et al[7]. Mahkamah Agung menentukan bahwa pembeli beritikad baik diartikan sebagai pembeli yang sekali-kali tidak menduga bahwa orang yang menjual suatu benda (bukan satu-satunya) orang yang berhak atas benda yang dijualnya.[8] Demikian pula, kaidah hukum Mahkamah Agung menentukan bahwa pembeli yang tidak mengetahui adanya cacat hukum (dalam jual beli yang dilakukannya) adalah pembeli yang beritikad baik.[9]

Sesudah berlakunya UUPA, Mahkamah Agung masih memaknai “pembeli beritikad baik” sebagai pembeli yang tidak mengetahui adanya kekeliruan dalam proses jual beli (peralihan hak), seperti telah dicabutnya surat kuasa penjual oleh pemilik asal tanahnya.[10] Sebagaimana hasil penelitian Widodo Dwi Putro et al[11] bahwa itikad baik juga mulai memperoleh makna lain, yaitu pembeli telah dianggap beritikad baik, apabila jual beli telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.[12] Demikian pula, pembeli juga dianggap sebagai pembeli yang beritikad baik, jika tanah diperoleh dari kantor lelang negara, berikut surat-surat kepemilikannya.[13]

Situsweb Direktori Putusan Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 114 K/Pdt/2013[14] menyebutkan kaidah hukum bahwa pembeli sebagai pemohon kasasi mendalilkan bahwa dirinya adalah pembeli beritikad baik, karena jual beli dilakukan dihadapan Notaris/PPAT, namun menurut Mahkamah Agung bahwa karena tanah obyek sengketa adalah harta gono-gini dan sebelumnya telah ada putusan pengadilan yang membatalkan akta jual beli berdasarkan hal tersebut, maka permohonan harus ditolak.

Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1847 K/Pdt/2006[15] menyebutkan bahwa karena jual beli tidak dilakukan di hadapan PPAT, Mahkamah Agung menilai pembeli dalam hal ini bukan pembeli beritikad baik, karena sudah mengetahui bahwa objek jual beli sedang dan telah dalam penguasaan pihak lain sejak tahun 1963.

Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1923 K/Pdt/2013[16] menyebutkan, Mahkamah Agung dalam perkara ini menilai bahwa pembeli bukan pembeli beritikad baik, meskipun telah memegang sertifikat hak atas tanah atas namanya sejak tahun 1999 dan 2000, karena pada waktu pembelian dia dianggap tidak mencermati objek tanah yang ternyata dikuasai oleh orang lain.

Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 1861 K/Pdt/2005[17],  Mahkamah Agung menganggap bahwa pembeli tanah bukan pembeli yang beritikad baik, meskipun jual beli telah dilakukan di hadapan PPAT dan telah terbit sertifikat, karena ketika pembelian dilakukan masih terdapat sengketa di pengadilan antara penjual dan pihak ketiga. Dalam sengketa itu, penjual ternyata akhirnya dihukum untuk menyerahkan tanah (yang telah dibeli oleh pembeli tadi) kepada lawannya.

Putusan Mahkamah Agung Nomor 429 K/Pdt/2003[18], mengandung kaidah hukum bahwa menurut Mahkamah Agung, jika BPN sebelumnya telah secara tegas menyatakan bahwa objek sengketa (tanah girik) terkait berasal dari tanah partikelir yang kemudian dinyatakan menjadi tanah negara, maka pengalihan hak yang dilakukan dihadapan notaris batal. Pembeli tidak dilindungi.

Berdasarkan kaidah hukum dalam setiap putusan Mahkamah Agung sebagaimana tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa makna perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah dalam konteks hukum jual beli tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, dan hanya dikenal di dalam kepustakaan hukum melalui pendapat ahli hukum atau doktrin. Dalam praktik peradilan, perlindungan hukum terhadap pembeli beritikad baik berobjek tanah tumbuh dan berkembang melalui yurisprudensi, sehingga bentuk perlindungan hukumnya diserahkan sepenuhnya kepada hakim untuk menentukan kriteria pembeli beritikad baik berobjek tanah.  


[1]   R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2014, h. 15.

[2]   Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, h. 194.

[3]  Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersiil, Edisi 1 Cetakan ke-1, LaksBang Mediatama, Yogyakarta, 2008.
Bdk. Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Dasar pertimbangan Hukum Hakim Berbasis Nilai-nilai Hukum dan Rasa Keadilan yang Hidup dalam Masyarakat. Edisi Pertama. Cetakan ke-1. Prenadamedia. Jakarta, 2008.

[4]  Widodo Dwi Putro et al, ibid.

[5]  Ibid, h. 14-15.

[6]  Mahkamah Agung Republik Indonesia, Himpunan Kebijakan Mahkamah Agung Tahun 2017, Jakarta, 2017, h.48-49.

[7]  Widodo Dwi Putro et al, ibid, h. 16-17.
Bdk. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Edisi Revisi. Djambatan. Jakarta, 2005.

[8]  Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 112 K/Sip/1955 dan Nomor 3447 K/Sip/1956.
Bdk. M. Fauzan, Kaidah Penemuan Hukum Yuridprudensi Bidang Hukum Perdata, Cetakan ke-1, Prenadamedia Group, Jakarta, 2014.

[9]   Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 242 K/Sip/1958.

[10]   Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1230 K/Sip/1980.

[11]   Widodo Dwi Putro, ibid.

[12]   Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah agung RI Nomor 1237 K/Sip/1973.

[13]   Ibid. Kaidah hukum dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 3604 K/Pdt/1985. 

[14] Vide: Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia di link https://putusan.mahkamahagung.go.id/  yang oleh Mahkamah Agung diluncurkan pertama kali pada tahun 2009 dalam forum Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung, dan diunggah di situs ini. Kemudian, Kepaniteraan Mahkamah Agung sejak tahun 2011 telah mengembangkan sistem ini lebih lanjut, sehingga putusan seluruh pengadilan Indonesia dapat diunggah dan diakses publik di direktori putusan Mahkaham Agung tersebut.

[15]   Ibid.

[16]   Ibid.

[17]  Ibid.


[18]  Ibid.
Previous Post
Next Post

0 comments: