Selasa, 07 Desember 2021

Keadilan Restoratif: Implementasi Alternatif Pemidanaan

by Albertus Usada

Hukum Pidana dalam pembaharuannya tengah berjalan dan berorientasi pada perubahan paradigma tentang tujuan pemidanaan, semula paradigma retributif berubah bergerak menjadi restoratif.

Menurut Tony F. Marshall  “Restorative justice is a process whereby all the parties with a stake in a particular offence come together to resolve collectively how to deal with the aftermath of the offence and its implications for the future”.

(Restorative justice - Keadilan Restoratif adalah sebuah proses dimana semua pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran tersebut demi kepentingan masa depan).

Miriam Liebmann (2007: 25-27) Restorative Justice sebagai suatu sistem hukum yang “bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut (Miriam Liebmann, 2007. Restorative Justice: How It Works, Jessica Kingsley Publishers, London).

Eva Achjani Zulfa (2009: 65), Keadilan Restoratif adalah sebuah konsep pemikiran yang merespon pengembangan sistem peradilan pidana dengan menitikberatkan pada kebutuhan pelibatan masyarakat dan korban yang dirasa tersisih dengan mekanisme yang bekerja pada sistem peradilan pidana yang ada pada saat ini (Eva Achiani Zulva, 2009. Keadilan Restoratif, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta).

Kuat Puji Prayitno (2012) dalam I Made Tambir (2019) pada penelitian hukum"Pendekatan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana di Tingkat Penyidikan", restorative justice merupakan alternatif dalam sistem peradilan pidana dengan mengedepankan pendekatan integral antara pelaku dengan korban dan masyarakat sebagai satu kesatuan untuk mencari solusi serta kembali pada pola hubungan baik dalam masyarakat.

Keadilan Restoratif (restorative justice) adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga, pelaku/ korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan pembalasaan.

SK Dirjen Badilum No. 1691/DJU/SK/PS.00/12/2020 Tanggal 22 Desember 2020, Keadilan Restoratif (restorative justice) adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. >>> DITUNDA PELAKSANAANNYA (MENUNGGU PERMA).

Menurut Muladi dalam I Made Agus Mahendra, Mediasi Penal Penerapan Nilai-nilai Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, Jakarta, Universitas Indonesia, Tesis, 2013, h. 30, bahwa Restorative Justice memiliki karakteristik, antara lain:  

a.    Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;

b.    Titik perhatian pada pemecahan masalah, pertanggung jawaban, dan kewajiban pada masa depan;

c.    Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negoisasi;

d.    Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;

e.    Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;

f.     Sarana perhatian pada perbaikan kerugian sosial;

g.    Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restorative;

h.   Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban, pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;

i.     Pertanggung jawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemohonan terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;

j.      Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial, danekonomi;


Penyelesaian dalam suatu tindak pidana dengan menerapkan Restorative justice lebih mengutamakan terjadinya kesepakatan dalam bentuk penyelesaian yang adil dan berimbang antara pihak yang berpekara (korban/keluarga korban, pelaku /keluarga pelaku, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. 

Keadilan Restoratif  (restorative justice) merupakan penyelesaian perkara tindak pidana yang dalam mekanisme tata cara peradilan pidana berfokus pada pemidanaan yang diubah menjadai proses dialog dan mediasi yang melibatkan pelaku, korban, keluarga, pelaku/korban dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menciptakan kesepakatan atas penyelesaian perkara pidana yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku dengan mengedepankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan mengembalikan pola hubungan masyarakat.

Prinsip Dasar keadilan restorative (restorative justice) adalah adanya pemulihan kepada korban yang menderita akibat kejahatan dengan memberikan ganti rugi kepada korban, perdamaian, pelaku melakukan kerja social maupun kesepakatan lainnya.

Hukum yang adil di dalam keadilan restorative (restorative justice): tidak berat sebelah, tidak memihak, tidak sewenang-wenang, dan hanya berpihak pada kebenaran sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku serta mempertimbangkan kesetaraan hak kompensasi dan keseimbangan dalam setiap aspek kehidupan.

Keadilan Restoratif (Restorative Justice) pada Perkara Tindak Pidana Ringan

Dasar Hukum:

  1. KUHP Pasal 310.
  2. KUHAP Pasal 205 .
  3. PERMA No. 2/2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).
  4. Nota Kesepakatan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI Nomor.131 /KMA/SKB/X/2012. Nomor M.HH-07.HM.03.02 Tahun 2012, Nomor KEP-06/E/EJP/10/2012, Nomor B/39/X/2012 tanggal 17 Oktober 2012 tentang Pelaksanaan Penerapan Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda, Acara Pemeriksaan Cepat Serta Penerapan Keadilan Restoratif (Restorative Justice).
  5. Surat Dirjen Badan Peradilan Umum Nomor 301/DJU/HK01/3/2015 tentang Penyesuaian Tindak Pidana Ringan.

Keadilan Restoratif (Restorative Justice) pada Pekara Pidana Anak

  1. UU No. 4/1979 tentang Kesejahteraan Anak.
  2. UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
  3. PP No. 65/2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 Tahun.
  4. PERMA No. 4/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak.

Keadilan Restoratif (Restorative Justice) Dalam Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum

1.    Konversi CEDAW (The Convention Of All from Of The Discrimination Against Woman) yang telah diratifikasi dengan UU No. 7/1984  tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita.

2.    Konversi ICCPR (International Covenant Civil and Politicy Right) yang telah diratifikasi dengan UU No. 12/2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil and Political Right, Konvensi International tentang Hak Hak Sipil dan Politik.

3.    UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

4.    UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

5.    UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak.

6.    UU No. 43/2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang menjadi Korban Tindak Pidana.

Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Pekara Narkotika

1.    KUHAP

2.    UU No. 35/2009 tentang Narkotika

3.    SEMA Nom. 4/2010 tentang Penempatan Penyalahgunana Korban dan Pecandu Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

4.    SEMA No. 3/2011 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

5.    Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Menteri Kesehatan RI, Menteri Sosial RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI, Kepala Badan Narkotika RI No. 01/PB/MA/III/2012, No. 03 Tahun 2014, No. 11 Tahun 2014, No. 03 Tahun 2014 No. Per.005/A/JA/03/201, No. 01 Tahun 2014 No. Perber/01/III/2014/BNN tertang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalagunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi.

STUDI KASUS

Contoh Putusan yang menerapkan Keadilan Restoratif:
Putusan Nomor 1600 K/Pid/2009 tanggal 24 November 2009, dengan terdakwa Ny. Ismayati
,
didakwa Pasal 378 jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP (TP Penipuan) dengan Dakwaan Alternatif Pasal 372 KUHP jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP (TP Penggelapan).

Kasus Posisi: Bahwa Terdakwa Ny. Ismayati memiliki sebuah usaha dan mengajak Ny. Emiyati, mertuanya, untuk bekerja sama dalam mengembangkan usaha yang dijalankan oleh Terdakwa.

Ny. Emiyati menyetujui kerja sama itu dan memberikan modal uang kepada Terdakwa.

Ny. Emiyati dijanjikan oleh Terdakwa sejumlah bunga dari modal yang telah diberikan oleh Ny. Emiyati kepada Terdakwa tersebut.

Setelah menerima uang modal, Terdakwa menyerahkan bilyet giro dan cek sebagai barter atas uang yang diterima. Namun, ternyata beberapa bilyet giro dan cek yang diserahkan tidak dapat dicairkan dan ditolak oleh bank dengan alasan kerena nomor rekening tidak sesuai dan dananya (saldonya) tidak mencukupi, atau telah terjadi penutupan rekening giro oleh bank karena masuk dalam daftar hitam Bank Indonesia.

Ny. Emiyati pun mengadukan Ny. Ismayati kepada polisi atas hal tersebut.

Seiring berjalannya perkara, Ny. Emiyati mencabut pengaduannya terhadap terdakwa.

Pengadilan Negeri Yogyakarta mengabulkan permohonan pencabutan pengaduan yang diajukan oleh Ny. Emiyati, namun keputusan ini diajukan banding oleh jaksa penuntut umum.

Dalam tahap banding, Pengadilan Tinggi Yogyakarta membatalkan putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta.

Atas hal ini Ny. Ismayati mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung RI. Mahkamah Agung RI mengabulkan permohonan kasasi dari Ny. Ismayati dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Yogyakarta dan menyatakan penuntutan perkaranya tidak dapat diterima.

Dalam pertimbangannya (ratio decidendi) Mahkamah Agung, menyatakan sebagai berikut: 

“Bahwa salah satu tujuan hukum pidana adalah memulihkan keseimbangan yang terjadi karena adanya tindak pidana;

Bahwa perkara ini terjadi karena adanya konflik antara mertua (sebagai pelapor) dengan menantu (sebagai terdakwa);

Bahwa ternyata kemudian sang mertua tidak lagi mempersoalkan tindak pidana yang dilakukan oleh menantunya, sehingga pengaduan dicabut;

Bahwa walaupun pencabutan pengaduan telah melewati 3 bulan, yang menurut Pasal 75 KUHP telah lewat waktu, namun dengan pencabutan itu,  keseimbangan yang terganggu dengan adanya tindak pidana tersebut telah pulih;

Bahwa pencabutan pengaduan yang dilakukan oleh pelapor yang notabene adalah mertua terdakwa, adalah merupakan tindakan untuk memaafkan menantu,  yang dengan demikian pihak yang dirugikan merasa tidak perlu lagi perkara ini diteruskan;

Bahwa walaupun perkara ini  perkara pidana, namun perdamaian yang terjadi antara pelapor dengan terlapor mengandung nilai yang tinggi yang harus diakui, karena bagaimanapun juga bila perkara ini dihentikan manfaatnya lebih besar daripada bila dilanjutkan;

Bahwa ajaran keadilan restoratif mengajarkan bahwa konflik yang disebut kejahatan harus dilihat semata-mata sebagai pelanggaran terhadap negara dengan kepentingan umum, tetapi konflik juga merepresentasikan terganggunya, bahkan mungkin terputusnya hubungan antara dua atau lebih individu di dalam hubungan kemasyarakatan dan Hakim harus mampu memfasilitasi penyelesaian konflik yang memuaskan untuk para pihak yang berselisih.”

Dan dari Contoh Kasus konkret tersebut dapat diketahui Kaidah Hukum, sebagai berikut:

Dalam menyelesaikan suatu perkara pidana, apabila hakim menemukan suatu penyelesaian yang efektif berdasarkan asas keseimbangan, rasa keadilan, pemaafan, dan manfaatnya jauh lebih besar apabila perkara pidana a quo dihentikan karena adanya pencabutan perkara oleh Pelapor ketimbang pemeriksaan perkara diteruskan hanya dengan memenuhi formalitas hukum, maka Hakim dapat saja menyimpangi aspek hukum formal (Hukum Acara Pidana).”


Previous Post
Next Post

0 comments: